![]() |
REFERENSI PIHAK KE 3 |
Tanganya mengiris
bawang dengan cepat, layaknya koki disebuah restoran, terkadang jari-jarinya
yang lembut itu teriris pisau, wajahnya layu dan keringat bercucuran, hampir
setiap pagi dan sore ia melakukan itu, sebelum aku berangkat kerja dan saat aku
pulang bekerja.
disiang hari
dengan sigap ia mencuci pakaian-pakaian kotor dan malam harinya ia menyetrika setumpuk pakaian yang
sudah kering. Dengan senyuman tulus ia melakukan itu. Tanganya yang lembut kini
terlihat kasar, di telapak tanganya terdapat tanda seperti kapalan,
Kukira selama ini
aku yang bekerja keras, bekerja selama delapan jam sehari, dikantor aku hanya
mengotak atik computer. Sambil menyeruput kopi buatan OB, Ternyata tidak, aku
salah, dia bahkan bisa berjaga sampai larut malam untuk menidurkan anak-anak.
Semenjak menikah
itulah pekerjannya, bukan aku tak memperhatikan tapi aku selalu sibuk dengan
pekerjaanku, sedangkan ia selalu memperhatikanku, tiba-tiba ia jatuh sakit dan
harus dirawat dirumah sakit, pekerjaan yang biasa dia lakukan, kini harus aku
kerjakan, mencuci pakaian, memasak dan menyetrika, ternyata tidak semudah yang
aku pikirkan selama ini, aku jadi teringat pesan ibu sebelum aku menikah, pesan
itu sudah lama sebenarnya tapi sekarang aku baru mengingatnya karena ada
peristiwa ini.
Beliau berkata: “Kewajiban
suami itu memberi nafkah, maksudnya memberi makan, pakaian dan tempat tinggal”,
beliau meneruskan: “kamu belum memberikan pakaian jika ia harus mencuci, belum
memberikan tempat tinggal jika ia harus membersihkan rumah, dan belum
memberikan makanan jika ia harus memasak. Semua itu tanggung jawabmu sebagai
laki-laki”.
Setelah pekerjaan
rumah selesai, Kutemui istriku yang masih terbaring dirumah sakit, disana sudah
ada kakak dan ibunya, Langsung kucium tanganya, aku kecup keningnya, dan aku katakan
didekat telinganya, perkataan yang sangat lembut, dengan menetes air mata “mulai
hari ini takkan kubiarkan kamu menderita, kamulah wanita pertama yang aku
cintai setelah ibuku”.
Kulihat raut
wajahnya mulai berubah, tersenyum tapi terlihat seperti menahan rasa sakit yang
amat sangat, dia berkata sangat pelan, sampai-sampai aku harus mendekatkan
telingaku pada bibirnya, “aku ridho mas, kamu menjadi suamiku” itu adalah
perkataan terakhir yang aku dengar sebebelum dia menghembuskan nafas terakhir
kalinya.
sebenarnya ia sudah
lama mengeluhkan perutnya sakit karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan
jadi aku tak bisa mengantarnya ke
dokter. Dia pergi ke dokter sendiri terkadang diantar kakaknya, karena jarak
rumah kakaknya tak jauh dari rumah kami, Ternyata selama ini dia terkena
penyakit kanker usus dan aku tidak tahu, dia merahasiakannya kepadaku agar aku
tidak khawatir, kini dia pergi untuk selama-lamanya. Dan aku tidak akan bisa
memaafkan diriku.
Iyah dia adalah istriku
Layla, yang tak pernah sekalipun mengeluh dengan keadaanya, dengan perlakuanku
kepadanya yang kadang menjengkelkan,dia sangat sabar dan penyayang, kini dia
pergi untuk selamanya, dan aku tak yakin masih ada wanita baik seperti dia.
Penyesalan kini
menyelimuti diri, andai waktu bisa diulang, akan kuputar persis saat aku
pertama kali bertemu denganya. Tapi apalah daya nasi sudah menjadi bubur, hanya
pelajaran yang bisa aku diambil dari masalalu.
Semoga cerpen ini
menjadi pelajaran bagi kalian hai para suami.
Jadi terharu,ðŸ˜
ReplyDelete